Selasa, 25 Oktober 2011

BELAJAR MENGAJAR DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

BELAJAR MENGAJAR DAN FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHINYA




MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Teknologi Pendidikan
Dosen Pengampu: Dr. Fatah Syukur, M.Ag



Add caption











Disusun oleh:
SOLIKHATUN ANISAH
093111110





FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011




 
BELAJAR MENGAJAR DAN FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHINYA

I.                   PENDAHULUAN
Belajar mengajar adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dengan anak didik. Interaksi yang bernilai edukatif dikarenakan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan, diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelum pengajaran dilakukan. Guru dengan sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dengan memanfaatkan segala sesuatunya guna kepentingan pengajaran.
Harapan yang tidak pernah sirna dan selalu guru tuntut adalah, bagaimana bahan pelajaran yang disampaikan guru dapat dikuasai oleh anak didik secara tuntas. Ini merupakan masalah yang cukup sulit yang dirasakan oleh guru. Kesulitan itu dikarenakan anak didik bukan hanya sebagai individu dengan segala keunikannya, tetapi mereka juga sebagai makhluk sosial dengan latar belakang yang berlainan. Paling sedikit ada tiga aspek yang membedakan anak didik yang satu dengan yang lainnya, yaitu aspek intelektual, psikologis dan biologis.
Pengelolaan kelas yang baik akan melahirkan interaksi belajar mengajar yang baik pula. Tujuan pembelajaran pun dapat dicapai tanpa menemukan kendala yang berarti. Hanya sayangnya pengelolaan kelas yang baik tidak selamanya dapat dipertahankan, disebabkan pada kondisi tertentu ada gangguan yang tidak dikehendaki datang dengan tiba-tiba. Dengan hadirnya kendala spontanitas suasana kelas biasanya terganggu yang ditandai dengan pecahnya konsentrasi anak didik.
Pengembangan variasi mengajar yang dilakukan oleh guru pun salah satunya adalah dengan memanfaatkan variasi alat bantu, baik dalam hal ini variasi media pandang, variasi media dengar, maupun variasi media taktil. Metode juga mempunyai andil yang cukup besar dalam kegiatan belajar mengajar. Kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki anak didik, akan ditentukan oleh kerelevansian penggunaan suatu metode yang sesuai dengan tujuan. 
Oleh karena itu, makalah ini akan menguraikan sedikit mengenai hakikat dan konsep belajar mengajar, dan bagaimana strategi belajar mengajar, serta apa saja faktor-faktor yang mempengaruhinya.
II.                RUMUSAN MASALAH
A.       Apakah Hakikat Belajar Mengajar itu?
B.       Apa Sajakah Komponen-Komponen Belajar Mengajar?
C.       Bagaimanakah Strategi Belajar Mengajar?
D.       Apa Sajakah Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar Mengajar?

III.             PEMBAHASAN
A.       Hakikat Belajar Mengajar
Untuk mengetahui hakikat belajar mengajar, perlu kiranya kita bahas pengertian yang objektif tentang belajar dan mengajar terlebih dahulu.
Pengertian belajar menurut C.T. Morgan dalam buku Introduction To Psychology, adalah suatu perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku sebagai akibat atau hasil dari pengalaman yang lalu. Ringkasnya ia mengatakan bahwa belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.
Henry E. Garret berpendapat bahwa belajar merupakan proses yang berlangsung dalam jangka waktu lama melalui latihan maupun pengalaman yang membawa kepada perubahan diri dan perubahan cara mereaksi terhadap suatu perangsang tertentu.
Menurut Lester D. Crow belajar ialah upaya untuk memperoleh kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan, dan sikap-sikap.
Dalam proses belajar tersebut, siswa menggunakan kemampuan mentalnya untuk mempelajari bahan belajar. Kemampuan-kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik yang dibelajarkan dengan bahan belajar menjadi semakin rinci dan menguat. Adanya informasi tentang sasaran belajar, adanya penguatan-penguatan, adanya evaluasi dan keberhasilan belajar, menyebabkan siswa semakin sadar, akan kemampuan dirinya.
Sedangkan secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku.
Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

Pengertian mengajar menurut Jerome S. Brunner dalam bukunya Toward a Theory of Instruction, mengajar adalah menyajikan ide, problem atau pengetahuan dalam bentuk yang sederhana sehingga dapat dipahami oleh setiap siswa.
Ngalim Purwanto dalam bukunya “Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis” mengemukakan yang dimaksud dengan mengajar ialah memberikan pengetahuan atau melatih kecakapan-kecakapan atau keterampilan-keterampilan kepada anak-anak.
J.J. Hasibuan berpendapat bahwa yang dimaksud dengan mengajar adalah suatu perbuatan yang komplek (a highly complexion process). Disebut kompleks karena dituntut daripadanya kemampuan personal, profesional, dan sosial-kultural secara terpadu dalam proses belajar-mengajar.

Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Belajar menunjuk pada apa yang harus dilakukan seseorang sebagai subjek yang menerima pelajaran (sasaran didik), sedangkan mengajar menunjuk pada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pengajar.
Dua konsep tersebut menjadi terpadu dalam satu kegiatan manakala terjadi interaksi guru – siswa, siswa – siswa pada saat pengajaran itu berlangsung. Inilah  makna belajar dan mengajar sebagai suatu proses. Interaksi guru – siswa sebagai makna utama proses pengajaran memegang peranan penting untuk mencapai tujuan pengajaran yang efektif. Mengingat kedudukan siswa sebagai subjek dan sekaligus juga sebagai objek dalam pengajaran maka inti proses pengajaran tidak lain adalah kegiatan belajar siswa dalam mencapai suatu tujuan pengajaran.
Oleh sebab itu belajar adalah proses yang aktif, belajar adalah proses mereaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar adalah proses yang diarahkan kepada tujuan, proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar adalah proses melihat, mengamati, memahami sesuatu. Apabila kita berbicara tentang belajar maka kita berbicara bagaimana mengubah tingkah laku seseorang.
Inilah hakikat belajar, sebagai inti proses pengajaran. Dengan perkataan lain bahwa dalam proses pengajaran atau interaksi belajar-mengajar yang menjadi persoalan utama ialah adanya proses belajar pada siswa yakni proses berubahnya tingkah laku siswa melalui berbagai pengalaman yang diperolehnya.
Sama halnya dengan belajar, mengajar pun pada hakikatnya adalah suatu proses, yakni proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar siswa sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan proses belajar. Pada tahap berikutnya mengajar adalah proses memberikan bimbingan atau bantuan kepada siswa dalam melakukan proses belajar.  

B.       Komponen-Komponen Belajar Mengajar
Dalam suatu kegiatan pembelajaran atau kegiatan belajar mengajar tentunya mempunyai komponen-komponen yang akan mendukung agar kegiatan belajar-mengajar itu akan berhasil, antara lain:
1.      Tujuan
Tujuan merupakan suatu cita-cita yang ingin dicapai dari pelaksanaan suatu kegiatan. Sebagai unsur penting untuk suatu kegiatan, maka dalam kegiatan apapun tujuan tidak bisa diabaikan.
2.      Bahan pelajaran
Bahan pelajaran adalah substansi yang akan disampaikan dalam proses belajar mengajar.  Tanpa bahan pelajaran proses belajar mengajar tidak akan berjalan. Biasanya aktifitas anak didik akan berkurang bila bahan pelajaran yang guru berikan tidak atau kurang menarik perhatiannya, disebabkan cara mengajarnya yang mengabaikan prinsip-prinsip mengajar, seperti apersepsi dan korelasi, dan lain-lain.
3.      Kegiatan  belajar mengajar
Kegiatan belajar mengajar adalah inti kegiatan dalam pendidikan. Dalam kegiatan belajar mengajar, guru sebaiknya memperhatikan perbedaan individual anak didik, yaitu pada aspek biologis, intelektual, dan psikologis. Kerangka berpikir demikian dimaksudkan agar guru mudah dalam melakukan pendekatan kepad setiap anak didik secara individual.
4.      Metode
Seorang guru tidak akan dapat melaksanakan tugasnya bila dia tidak menguasai satupun metode mengajar. Dalam kegiatan belajar mengajar, guru tidak harus terpaku menggunakan satu metode, tetapi guru sebaiknya menggunakan metode yang bervariasi agar jalannya pelajaran tidak membosankan.  Tetapi juga penggunaan metode yang bervariasi tidak akan menguntungkan kegiatan belajar mengajar bila penggunaannya tidak tepat dan sesuai dengan situasi yang mendukungnya dan sesuai dengan kondisi psikologis anak didik.
5.      Alat
Alat adalah segala sesuatu yang dapat digunakan dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Alat dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu alat dan alat bantu pengajaran. Yang dimaksud dengan alat adala berupa suruhan, perintah, larangan, dan sebagainya. Sedangkan alat bantu pengajaran adalah berupa globe, papan tulis, kapur tulis, gambar, diagram, video, LCD, dan sebagainya.
6.      Evaluasi
Anne Anastasi mengatakan bahwa evaluasi bukan sekedar menilai suatu aktivitas secara spontan dan insidental, melainkan merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik dan terarah berdasarkan atas tujuan yang jelas. Kegiatan evaluasi ini sangat penting untuk menetapkan apakah tujuan telah tercapai atau tidak maka penilaian yang harus memainkan fungsi dan peranannya.

C.       Strategi Belajar Mengajar
Secara umum strategi mempunyai pengertian suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan. Dihubungkan dengan belajar mengajar, strategi bisa diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru – anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan.
Strategi pembelajaran dapat dipahami sebagai suatu cara atau seperangkat cara atau teknik yang dilakukan dan ditempuh oleh seorang guru atau peserta didik dalam melakukan upaya terjadinya suatu perubahan tingkah laku atau sikap. Strategi pembelajaran merupakan cara-cara yang akan dipilih dan digunakan oleh seorang guru untuk menyampaikan materi pembelajaran sehingga akan memudahkan peserta didik menerima dan memahami materi pembelajaran, yang pada akhirnya tujuan pembelajaran dapat dikuasainya di akhir kegiatan belajar.
Ada empat strategi dasar dalam belajar mengajar yang meliputi hal-hal berikut:
1.      Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku dan kepribadian anak didik sebagaimana yang diharapkan.
2.      Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat.
3.      Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru dalam menunaikan kegiatan mengajarnya.
4.      Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam melakukan evaluasi hasil kegiatan belajar mengajar yang selanjutnya akan dijadikan umpan balik buat penyempurnaan sistem instruksional yang bersangkutan secara keseluruhan.


D.         Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar Mengajar
Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni faktor dari dalam diri siswa (intern) itu dan faktor yang datang dari luar diri siswa (ekstern) atau faktor lingkungan. Faktor yang datang dari diri siswa terutama kemampuan yang dimilikinya. Faktor kemampuan siswa besar sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar yang dicapai. Seperti dikemukakan oleh Clark bahwa hasil belajar siswa di sekolah 70% dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi oleh lingkungan.
a.         Faktor-Faktor Intern
Di dalam membicarakan faktor intern ini, akan dibahas menjadi tiga faktor, yaitu: faktor jasmaniah, faktor psiklogis dan faktor kelelahan.
1.      Faktor Jasmaniah
a)      Faktor kesehatan
Kesehatan jasmani dan rohani sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan belajar.
b)      Cacat tubuh
Cacat tubuh adalah sesuatu yang menyebabkan kurang baik atau kurang sempurna mengenai tubuh/badan, yang akan mempengaruhi kemampuan belajar.
2.      Faktor Psikologis
a)      Inteligensi dan bakat
Menurut J.P. Chaplin Inteligensi adalah kecakapan yang terdiri dari tiga jenis yaitu kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan ke dalam situasi yang baru dengan cepat dan efektif, mengetahui menggunakan konsep-konsep yang abstrak secara efektif, mengetahui relasi dan mempelajarinya dengan cepat.
Bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Bakat mempengaruhi tinggi rendahnya prestasi belajar. Pemaksaan anak untuk studi pada bidang yang tidak cocok dengan bakatnya bisa menjadi masalah dalam prestasi belajarnya.
b)      Minat dan motivasi
Minat yaitu kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Minat dapat mempengaruhi pencapaian hasil belajar dalam mata pelajaran tertentu.
Sedangkan motivasi adalah keadaan dalam pribadi orang yang mendorong individu untuk melakukan aktifitas-aktifitas tertentu guna mencapai sesuatu tujuan.
c)      Perhatian
Perhatian menurut Gazali adalah keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itu pun semata-mata tertuju kepada suatu obyek (benda/hal) atau sekumpulan objek. Untuk dapat menjamin hasil belajar yang baik, maka siswa harus mempunyai perhatian terhadap bahan yang dipelajarinya, jika bahan pelajaran tidak menjadi perhatian siswa, maka timbullah kebosanan, sehingga ia tidak lagi suka belajar.
d)     Kematangan adalah suatu tingkat/fase dalam pertumbuhan seseorang, di mana alat-alat tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru.
3.      Faktor kelelahan
Kelelahan pada seseorang walaupun sulit untuk dipisahkan tetapi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelelahan jasmani dan rohani (bersifat psikis).
Kelelahan jasmani terlihat dengan lema lunglainya tubuh dan timbul kecenderungan untuk membaringkan tubuh. Kelelahan jasmani terjadi karena terjadi kekacauan substansi sisa pembakaran di dalam tubuh, sehingga darah tidak/kurang lancar pada bagian-bagian tertentu.
Kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan kebosanan, sehingga minat dan dorongan untuk menghasilkan sesuatu hilang. Kelelahan ini sangat terasa pada bagian kepada dengan pusing-pusing sehingga sulit untuk berkonsentrasi, seolah-olah otak kehabisan daya untuk berkerja. Kelelahan rohani dapat terjadi terus menerus memikirkan masalah yang dianggap berat tanpa istirahat, menghadapi hal-hal yang selalu sama/konstan tanpa ada variasi, dan mengerjakan sesuatu karena terpakas dan tidak sesuai dengan bakat, minat dan perhatiannya.
Dari uraian di atas dapatlah dimengerti bahwa kelelahan itu mempengaruhi belajar. Agar siswa dapat belajar dengan baik haruslah menghindari jangan sampai terjadi kelelahan dalam belajarnya. Sehingga perlu diusahakan kondisi yang bebas dari kelelahan.

b.         Faktor-Faktor Ekstern
1.        Faktor keluarga
a)      Cara orang tua mendidik
Cara orang tua mendidik anaknya besar pengaruhnya terhadap belajar anaknya. Hal ini jelas dan dipertegas oleh Sutjipto Wirowidjojo yang menyatakan bahwa keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama.
b)      Relasi antar anggota keluarga
Relasi antar anggota keluarga yang terpenting adalah relasi antara anak dengan orang tuanya. Selain itu relasi anak dengan saudaranya atau dengan anggota keluarga yang lain pun turut mempengaruhi belajar anak.
c)      Suasana rumah
Suasana rumah yang dimaksudkan adalah sebagai situasi atau kejadian-kejadian yang sering terjadi di dalam keluarga di mana anak berada dan belajar.
d)     Keadaan ekonomi keluarga
Keadaan ekonomi keluarga erat hubungannya dengan belajar anak. Jika anak hidup dalam keluarga yang miskin, kebutuhan pokok anak kurang terpenuhi, akibatnya kesehatan anak terganggu, sehingga belajar anak terganggu.
e)      Pengertian orang tua
Bila anak sedang belajar jangan diganggu dengan tugas-tugas rumah. Kadang-kadang anak mengalami lemah semangat, orang tua wajib memberi pengertian dan mendorongnya, membantu sedapat mungkin kesulitan yang dialami anak sekolah.
f)       Latar belakang kebudayaan
Tingkat pendidikan atau kebiasaan di dalam keluarga mempengaruhi sikap anak dalam belajar. Perlu kepada anak ditanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, agar mendorong semangat anak untuk belajar.

2.      Faktor sekolah
a)      Metode mengajar
Metode mengajar adalah suatu cara atau jalan yang harus dilalui di dalam mengajar. Suatu metode dikatakan efektif  jika prestasi belajar yang diinginkan dapat dicapai dengan penggunaan metode yang tepat guna. Maksudnya dengan memakai metode tertentu tetapi dapat menghasilkan prestasi belajar yang baik.
b)      Kurikulum
Kurikulum adalah sesuatu yang direncanakan sebagai pegangan guna mencapai tujuan pendidikan.
c)      Relasi guru dengan siswa.
Proses belajar mengajar terjadi antara guru dengan siswa. Di sekolah, kompetensi personal akan menentukan simpatik tidaknya, akrab tidaknya guru dalam pandangan siswa. Kerawanan hubungan guru dengan siswa sangat ditentukan sejauh mana tingkat kualitas kompetensi personal yang dimiliki oleh guru.
d)     Relasi siswa dengan siswa
Hubungan antar siswa kurang harmonis sehingga muncul beberapa kelompok yang tidak bersahabat. Persaingan yang tidak sehat di antara kelompok menimbulkan keonaran-keonaran yang menyebabkan proses pengajaran mengalami hambatan yang berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.
e)      Disiplin sekolah
Agar siswa belajar lebih maju, siswa harus disiplin di dalam belajar baik di sekolah, di rumah dan perpustakaan. Agar siswa disiplin haruslah guru beserta staf yang lain disiplin pula. 
f)       Alat pelajaran
Mengusahakan alat pelajaran yang baik dan lengkap adalah perlu agar guru dapat mengajar dengan baik sehingga siswa dapat menerima pelajaran dengan baik serta dapat belajar dengan baik pula.
g)      Waktu sekolah
Waktu sekolah ialah waktu terjadinya proses belajar mengajar di sekolah, waktu itu dapat pagi hari, siang/sore/malam hari.
h)      Standar pelajaran diatas ukuran
Guru dalam menuntut penguasaan materi harus sesuai dengan kemampuan siswa masing-masing. Yang penting tujuan yang telah dirumuskan dapat tercapai.
i)        Keadaan gedung
Dengan jumlah siswa yang terlalu banyak serta variasi karakteristik mereka masing-masing menuntut keadaan gedung dewasa ini harus memadai di dalam setiap kelas.
j)        Metode belajar
Dengan cara belajar yang tepat akan lebih efektif  pula hasil belajar siswa itu.
k)      Tugas rumah
Waktu belajar terutama di sekolah, disamping untuk belajar waktu di rumah biarlah digunakan untuk kegiatan-kegiatan lain. Maka diharapkan guru jangan terlalu banyak memberi tugas yang harus dikerjakan di rumah, sehingga anak tidak mempunyai waktu lagi untuk kegiatan di rumah. 
3.      Faktor masyarakat
a)      Kegiatan siswa dalam masyarakat  
Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Kegiatan siswa dalam masyarakat dapat menguntungkan terhadap perkembangan pribadinya. Tetapi jika siswa ambil bagian dalam kegiatan masyarakat yang terlalu banyak  maka belajarnya akan terganggu sehingga hasil belajarpun akan menurun.
b)      Media massa
Yang termasuk dalam media massa adalah bioskop, radio, TV, surat kabar, majalah, buku-buku, komik-komik, dan lain-lain. Semuanya itu ada dan beredar dalam masyarakat. Mass media yang baik member pengaruh yang baik terhadap siswa dan juga terhadap belajarnya serta sebaliknya.
c)      Teman bergaul
Anak-anak adalah calon manusia dewasa yang akan hidup dalam masyarakat yang bermacam-macam corak ragamnya.Agar siswa dapat belajar dengan baik, maka perlulah diusahakan agar siswa memiliki teman bergaul yang baik-baik dan pembinaan pergaulan yang baik serta pengawasan dari orang tua dan pendidik harus bijaksana
d)     Bentuk kehidupan masyarakat
Kehidupan masyarakat di sekitar siswa juga berpengaruh terhadap belajar siswa. Masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang tidak terpelajar, penjudi, suka mencuri dan mempunyai kebiasaan yang tidak baik, akan berpengaruh jelek kepada anak (siswa) yang berada di situ. Anak (siswa) tertarik untuk ikut berbuat seperti yang dilakukan orang-orang di sekitarnya. Akibatnya belajarnya terganggu dan bahkan anak (siswa) kehilangan semangat belajar karena perhatiannya semula terpusat kepada pelajaran berpindah ke perbuatan-perbuatan yang selalu dilakukan orang-orang di sekitarnya yang tidak baik tadi. Sebaliknya jika lingkungan anak adalah orang-orang terpelajar yang baik-baik, mereka mendidik dan menyekolahkan anak-anaknya, antusias dengan cita-cita yang luhur akan masa depan anaknya, anak (siswa) terpengaruh juga ke hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang dilingkungannya, sehingga akan berbuat seperti orang-orang yang ada di lingkungannya. Pengaruh itu dapat mendorong semangat anak (siswa) untuk belajar lebih giat lagi.
Adalah perlu untuk mengusahakan lingkungan yang baik agar dapat memberi pengaruh yang positif terhadap anak (siswa) sehingga dapat belajar dengan sebaik-baiknya.

IV.             ANALISIS
Proses belajar mengajar seolah-olah tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainya. Orang menganggap bahwa setiap ada proses belajar pasti ada proses mengajar. Proses belajar dapat terjadi kapan saja dan dimana saja terlepas dari adanya mengajar ataupun tidak. Proses belajar mengajar terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungannya. Belajar merupakan suatu hal yang kompleks yang terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup, sejak ia masih bayi hingga keliang lahat nanti. Salah satu petanda bahwa seorang telah belajar adalah adanya perubahan tingkah laku dalam dirinya. Perubahan tersebut menyangkut perubahan yang bersifat pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotor) maupun yang menyangkut nilai dan sikap (afektif).
Pengajaran pada dasarnya adalah suatu proses, terjadinya interaksi guru – siswa melalui kegiatan terpadu dari dua bentuk kegiatan, yakni kegiatan belajar siswa dengan kegiatan mengajar guru. Titik berat proses pengajaran, ialah kegiatan siswa belajar. Belajar pada hakikatnya adalah proses perubahan tingkah laku yang disadari. Mengajar pada hakikatnya adalah usaha yang direncanakan melalui pengaturan dan penyediaan kondisi yang memungkinkan siswa melakukan berbagai kegiatan belajar seoptimal mungkin. Dalam proses pengajaran terdapat empat komponen utama (tujuan, bahan pelajaran, metode, dan alat serta penilaian), yang perlu diatur dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga semua komponen saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain.

V.                KESIMPULAN
Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Mengajar merupakan proses menanamkan pengetahuan pada seseorang dengan cara paling singkat dan tepat. Guru perlu memperhatikan perbedaan individual siswa, sehingga antara siswa satu dengan yang lain memerlukan pelayanan yang berbeda-beda.
Komponen-komponen dalam belajar mengajar meliputi: tujuan, bahan pengajaran, kegiatan belajar mengajar, metode, alat dan sumber, serta evalausi.
Ada empat strategi dasar dalam belajar mengajar yang meliputi hal-hal berikut:
1.        Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku dan kepribadian anak didik sebagaimana yang diharapkan.
2.        Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat.
3.        Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru dalam menunaikan kegiatan mengajarnya.
4.        Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam melakukan evaluasi hasil kegiatan belajar mengajar yang selanjutnya akan dijadikan umpan balik buat penyempurnaan sistem instruksional yang bersangkutan secara keseluruhan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar mengajar terdiri dari 2 faktor, faktor intern dan ekstern. Faktor intern meliputi: jasmani, psikologi, kelelahan. Sedangkan faktor eksternal meliputi: keluarga, sekolah, masyarakat.

VI.             PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat Kami susun, tentunya masih banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.



DAFTAR PUSTAKA

B. Uno, Hamzah, Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif, Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Basyuruddin, M. Usman, Media Pembelajaran, Jakarta: Ciputat, 2002.
Dalyono, M., Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Djamarah, Syaiful Bahri, dkk., Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010.
­­Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Hasibuan, J.J. dkk., Proses Belajar Mengajar, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009.
Ismail, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, Semarang: Rasail   Media Group, 2008.
Jalaludin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Mahmud, Psikologi Pendidikan, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.
Mulyasa,  E., Implementasi Kurikulum 2004, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.           
Nasution, S., Asas-Asas Kurikulum, Jakarta: PT. Bumi Aksara,2008.
Purwanto, Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007.
Sagala, Syaiful, Konsep dan Makna Pembelajaran: untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar, Bandung: CV Alfabeta, 2003.
Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Sudjana, Nana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995.
Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Thoha, Chabib, Teknik Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 1991.
Warsita, Bambang, Teknologi Pembelajaran Landasan dan Aplikasinya, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.





Sabtu, 08 Oktober 2011

makalah PSIKOLOGI PENDIDIKAN

POTENSI PESERTA DIDIK
(IQ, EQ, SQ DAN MULTIPLE INTELLIGENCE)

       I.            PENDAHULUAN
Kecerdasan yang dimiliki manusia merupakan salah satu potensi yang  dianugerahkan oleh Allah SWT, yang menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berpikir dan belajar secara terus menerus.
Dalam hal ini, sudah sepantasnya manusia bersyukur, meski secara fisik tidak begitu besar dan kuat, namun berkat kecerdasan yang dimilikinya hingga saat ini manusia ternyata masih dapat mempertahankan kelangsungan peradaban hidupnya.
Salah satu pengertian kecerdasan yang paling banyak digunakan adalah yang dikemukakan oleh Wechsler. Ia menganggap kecerdasan adalah konsep generik yang melibatkan kemampuan individual untuk berbuat dengan tujuan tertentu. Sementara itu menurut Chaplin (1975) memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Kemudian Anita E. Woolfolk (1975) mengemukakan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi baru atau lingkungan pada umumya (dalam Akhmad Sudrajat, 2009).
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuanm dan teknologi dewasa ini, orang tidak hanya berbicara tentang Kecerdasan Umum, Kecerdasan Intelektual (IQ) saja, melainkan juga Kecerdasan Emosi (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ). Setiap kecerdasan ini memiliki wilayahnya sendiri-sendiri di otak. Sesuai dengan fitrah, kecerdasan sudah ada sejak manusia dilahirkan, tetapi yang mewarnai selanjutnya adalah keluarga dan lingkungannya.[1]
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang berbagai macam kecerdasan yang dimiliki manusia.



    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Macam-Macam Kecerdasan Manusia
B.     Urgensi IQ, EQ, dan SQ dalam Proses Pendidikan

 III.            PEMBAHASAN
A.    Macam-Macam Kecerdasan Manusia
Kita telah mengenal berbagai kecerdasan manusia diantaranya IQ, EQ, SQ, dan Multiple Intelligence.
1.      Kecerdasan Intelektual [Intelligence Quotient (IQ)]
Kecerdasan Intelektual/Intelligence Quotient (IQ) merupakan kecerdasan dasar yang berhubungan dengan proses kognitif, pembelajaran (kecerdasan intelektual) cenderung menggunakan kemampuan matematis-logis dan bahasa, pada umumnya hanya mengembangkan kemampuan kognitif (menulis, membaca, menghafal, menghitung dan menjawab). Kecerdasan ini dikenal dengan kecerdasan rasional karena menggunakan potensi rasio dalam memecahkan masalah, penilaian kecerdasan dapat dilakukan melalui tes atau ujian daya ingat, daya nalar, penguasaan kosa kata, ketepatan menghitung, mudah menganalisis data. Dengan ujian seperti dapat dilihat tingkat kecerdasan intelektual seseorang.
            Kecerdasan intelektual muncul sejak dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, sejak anak di dalam kandungan (masa pranata) sampai tumbuh menjadi dewasa. Kecerdasan intelektual (inteligensi) merupakan aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas seseorang dalam perolehan pembelajaran.
            Kecerdasan intelektual (IQ) pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat.[2]
            Semenjak zaman pencerahan yang mengagungkan kemajuan ilmu pengetahuan sebagai lambang kemajuan peradaban, intilegensi naik daun dan dianggap sebagai prediktor utama kesuksesan, bahkan mungkin satu-satunya. Sehingga salah kaprah terhadap konsep IQ dan terjadi pemberhalaan IQ. Sering terjadi pertukaran konsep dikalangan awam antara inteligensi (intelligence) dan IQ.
            Inteligensi adalah sebuah konsep, yang dioperasionalisasikan dengan suatu alat ukur, dan keluaran dari alat ukur inilah yang berupa IQ. Angka yang keluar adalah angka berdasarkan satuan tertentu. Semacam “gram” untuk “berat”, dan “meter” untuk “jarak”. Konsep inilah yang harus diluruskan agar tidak menimbulkan beragam penafsiran : IQ adalah satuan ukur.
            Untuk mengukur tingkat inteligensi anak, dapat digunakan tes IQ (Intelligence Quotient) misalnya dari Binet Simon. Dari hasil tes Binet Simon, dibuatlah penggolongan inteligensi sebagai berikut:
1.      Genius > 140;
2.      Gifted > 130;
3.      Superior > 120;
4.      Normal 90-110;
5.      Debil 60-79;
6.      Imbesil 40-55;
7.      Idiot > 30.[3]
Inteligensi orang satu dengan yang lain cenderung berbeda-beda. Hal ini karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara lain:
a)      Faktor pembawaan, dimana faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir.
b)      Faktor minat dan pembawaan yang khas, dimana minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu.
c)      Faktor pembentukan, dimana pembentukan adalah segala keadaan diluar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan inteligensi.
d)     Faktor kematangan, dimana tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik maupun psikis, dapat dikatakan telah matang jika ia telah tumbuh atau berkembang hingga mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing.
e)      Faktor kebebasan, yang berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Di samping kebebasan memilih metode juga bebas memilih masalah yang sesuai dengan kebutuhannya.
Kelima faktor itu saling terkait satu dengan yang lain. Jadi, untuk menentukan kecerdasan seseorang, tidak dapat hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut.[4]

2.      Kecerdasan Emosi [Emotional Quotient (EQ)]
Sesuai dengan berjalannya zaman, manusia mulai menyadari bahwa faktor emosi tidak kalah pentingnya dalam mendukung sebuah kesuksesan, bahkan dipandang lebih penting dari pada inteligensi. Daniel Goleman telah mempopulerkan pada pertengahan 1990-an. Seperti juga IQ, konsep kecerdasan emosi ini dioperasionalisasikan menjadi alat ukur dan keluarannya disebut EQ. [5]
Konsep ini muncul dari beberapa pengalaman, bahwa kecerdasan intelektual yang tinggi saja tidak cukup untuk mengantarkan orang menuju sukses. Menurut Goleman (1995) pengembangan kecerdasan emosional, orang-orang sukses selain memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi tetapi juga memliki stabilitas, motivasi kerja yang tinggi, mampu mengendalikan stres, tidak mudah putus asa, dan lain-lain. Pengalaman-pengalaman demikian, memperkuat keyakinan bahwa disamping kecerdasan intelektual juga ada kecerdasan emosional. Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi adalah mereka yang mampu mengendalikan diri (mengendalikan gejolak emosi), mampu menerima kenyataan, dapat merasakan kesenangan meskipun dalam kesulitan.[6]
Demikian pula penerapannya dalam kehidupan organisasi, inteligensi tidak lagi dianggap satu-satunya faktor menentukan kinerja seseorang. Dalam konsep kompetensi faktor-faktor seperti motivasi, keterampilan interpersonal, dan kepemimpinan mendapat perhatian yang cukup signifikan.[7]
            Tokoh-tokoh seperti Sternberg, Baron dan Salovey, menyebutkan adanya lima domain kecerdasan pribadi dalam bentuk kecerdasan emosional, yaitu:
a.       Kemampuan mengenali emosi diri
Kemampuan mengenali emosi diri merupakan kemampuan seseorang dalam mengenali perasaannya sendiri sewaktu perasaan atau emosi itu muncul. Ini sering dikatakan sebagai dasar dari kecerdasan emosional. Seseorang yang mampu mengenali emosinya sendiri adalah bila ia memiliki kepekaan yang tajam atas perasaan mereka yang sesungguhnya dan kemudian mengambil keputusan-keputusan secara mantap. Misalnya sikap yang diambil dalam menentukan berbagai pilihan, seperti memilih sekolah, sahabat, pekerjaan sampai kepada pemilihan pasangan hidup.
b.      Kemampuan mengelola emosi
Kemampuan mengelola emosi merupakan kemampuan seseorang untuk mengendalikan perasaannya sendiri sehingga tidak meledak dan akhirnya dapat mempengaruhi perilakunya secara salah. Mungkin dapat diibaratkan sebagai seorang pilot pesawat yang dapat membawa pesawatnya ke suatu kota tujuan dan kemudian mendaratkannya secara mulus. Misalnya seseorang yang sedang marah, maka kemarahan itu, tetap dapat dikendalikan secara baik tanpa harus menimbulkan akibat yang akhirnya disesalinya di kemudian hari.
c.       Kemampuan memotivasi diri
Kemampuan memotivasi diri merupakan kemampuan untuk memberikan semangat kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Dalam hal ini terkandung adanya unsur harapan optimisme yang tinggi, sehingga seseorang memiliki kekuatan semangat untuk melakukan suatu aktivitas tertentu. Misalnya dalam hal belajar, bekerja, menolong orang lain dan sebagainya. [8]
d.      Kemampuan mengenali emosi orang lain
Kemampuan mengenali emosi orang lain (empati) merupakan kemampuan untuk mengerti perasaan dan kebutuhan orang lain, sehingga orang lain akan merasa senang dan dimengerti perasaannya. Anak-anak yang memiliki kemampuan ini, yaitu sering pula disebut sebagai kemampuan berempati, mampu menangkap pesan non verbal dari orang lain seperti nada bicara, gerak-gerik maupun ekspresi wajah dari orang lain tersebut. Dengan demikian anak-anak ini akan cenderung disukai orang.
e.       Kemampuan membina hubungan sosial
Kemampuan membina hubungan sosial merupakan kemampuan untuk mengelola emosi orang lain, sehingga tercipta keterampilan sosial yang tinggi dan membuat pergaulan seseorang menjadi lebih luas. Anak-anak dengan kemampuan ini cenderung mempunyai banyak teman, pandai bergaul dan menjadi lebih populer.
Disini dapat kita simpulkan betapa pentingnya kecerdasan emosional dikembangkan pada diri siswa (peserta didik). Karena betapa banyak kita jumpai siswa (peserta didik), dimana mereka begitu cerdas di sekolah, begitu cemerlang prestasi akademiknya, namun bila tidak dapat mengelola emosinya, seperti mudah marah, mudah putus asa atau angkuh dan sombong, maka prestasi tersebut tidak akan banyak bermanfaat untuk dirinya. Ternyata kecerdasan emosional perlu lebih dihargai dan dikembangkan pada peserta didik sedini mungkin dari tingkat pendidikan usia dini sampai ke Perguruan Tinggi. Karena hal inilah yang mendasari keterampilan seseorang di tengah masyararakat kelak, sehingga akan membuat seluruh potensinya dapat berkembang secara lebih optimal.[9]
Selain itu kecerdasan emosi berkaitan dengan pemahaman diri dan orang lain, beradaptasi dan menghadapi lingkungan sekitar, dan penyesuaian secara cepat agar lebih berhasil dalam mengatasi tuntutan lingkungan.

3.      Kecerdasan Spiritual [Spiritual Quotient (SQ)]
Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kemampuan individu terhadap mengelola nilai-nilai, norma-norma dan kualitas kehidupan dengan memanfaatkan kekuatan-kekuatan pikiran bawah sadar atau lebih dikenal dengan suara hati (God Spot).
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hajj ayat 46, sebagai berikut:
óOn=sùr& (#r玍šo Îû ÇÚöF{$# tbqä3tGsù öNçlm; Ò>qè=è% tbqè=É)÷ètƒ !$pkÍ5 ÷rr& ×b#sŒ#uä tbqãèyJó¡o $pkÍ5 ( $pk¨XÎ*sù Ÿw yJ÷ès?
㍻|Áö/F{$# `Å3»s9ur yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# Îû ÍrߐÁ9$# ÇÍÏÈ  

Artinya : “Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”. (Q.S. Al-Haj : 46).[10]

            Kecerdasan spiritual disini bermakna bahwa seseorang individu yang memiliki rasa tanggung jawab kepada sang pencipta serta kemampuan mengkhayati nilai-nilai agama. Keridlaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menerima dengan hati yang rela dengan peraturan-peraturan yang telah digariskan oleh agama. Tanggung jawab kepada sang pencipta dapat membantu seseorang untuk terus belajar dan bekerja keras tanpa rasa jenuh. Allah membimbing siapa saja yang ridla kepada-Nya melalui jalan-jalan keselamatan dan membawa mereka dengan izin-Nya keluar dari kegelapan menuju cahaya. Sebagaimana tujuan diciptakannya manusia, dalam surat al-Maidah ayat 16:
Ïôgtƒ ÏmÎ/ ª!$# ÇÆtB yìt7©?$# ¼çmtRºuqôÊÍ Ÿ@ç7ß ÉO»n=¡¡9$# Nßgã_̍÷ãƒur z`ÏiB ÏM»yJè=à9$# n<Î) ÍqY9$# ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/
óOÎgƒÏôgtƒur 4n<Î) :ÞºuŽÅÀ 5OŠÉ)tGó¡B ÇÊÏÈ  

Artinya : “Dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridlaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”
(Q.S. Al-Maidah :16) [11]

            Kecerdasan spiritual (SQ) yang memadukan antara kecerdasan intelektual dan emosional menjadi syarat penting agar manusia dapat lebih memaknai hidup dan menjalani hidup penuh berkah. Terutama pada masa sekarang, dimana manusia modern terkadang melupakan mata hati dalam melihat segala sesuatu.
            Manusia modern adalah manusia yang mempunyai kualitas intelektual yang memadai, karena telah menempuh pendidikan yang memadai pula. Salah satu ciri yang kental dalam diri manusia modern adalah suka membaca. Hal ini sejalan dengan syariat Islam, dimana syariat pertamanya adalah membaca. Namun, terkadang kualitas intelektual tersebut tidak dibarengi dengan kualitas iman atau emosional yang baik, sehingga berkah yang diharapkan setiap manusia dalam hidupnya tidak dapat diperoleh.
            K.H. Ali Yafie menyatakan, ibadah yang dijalankan oleh umat Islam seharusnya bukan hanya merupakan suatu kewajiban, sehingga menjadi beban. Akan tetapi ibadah hendaknya menjadi kebutuhan hidup yang mutlak. Dengan menjadikan ibadah sebagai kebutuhan mutlak, tiap umat Islam akan selalu rindu untuk menjalankan ibadah. Dengan kata lain, upaya mi’raj atau mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai salah satu wujud dari makna hidup manusia dapat diusahakan tanpa menjadikannya suatu beban.
            Sementara itu, Komaruddin Hidayat memaparkan beberapa ciri manusia modern yang terjadi dalam dua kelompok besar, yaitu beragama dan tidak beragama. Ciri-ciri tersebut adalah rasional, mengandalkan kekuatan pribadi, selalu penuh dengan rencana dan kompetitif. Namun, ia memberi penekanan bahwa manusia modern dalam Islam tidak boleh melupakan mata hati dalam melihat segala sesuatu. Hal ini membutuhkan kecerdasan spiritual, lanjutnya, sehingga hati dan nalar akan dapat bekerja sama.[12]
            Proses pembersihan diri dan upaya untuk menjernihkan hati, dengan tujuan memunculkan kemampuan mendengar suara hati terdalam yang merupakan sumber kebijaksanaan dan motivasi. Pengaktifan, pembangkitan secara mental dan spiritual untuk memunculkan kemampuan dan potensi yang tersembunyi, pengisian dengan sifat-sifat Allah yang agung dan indah, memunculkan sifat-sifat yang baik, membangun citra positif yang mempesonakan.
            Pengembangan potensi diri adalah suatu metode untuk melepaskan, mengarahkan, mengendalikan kekuatan pikiran bawah sadar (unconscious mind), sehingga menjadi suatu langkah nyata dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus pola pengasahannya, melalui berbagai aplikasi dan keilmuan canggih berdasar kekuatan do’a dan dzikir yang digali dari al-Qur’an dan Hadits, menjadi modal dasar untuk pencapaian jalan keluar terbaik, untuk mencapai kerukunan, untuk mencapai harkat kehidupan yang lebih tinggi sepanjang perjalanan kehidupan. Bilamana setiap manusia bisa mengendalikan emosinya, maka kehidupan akan menjadi lebih indah.
            Untuk itu setiap manusia perlu mendapatkan suatu pelatihan dan pemahaman tentang kecerdasan emosi (EQ) dengan semangat spiritual (SQ), sehingga terjadi suatu perpaduan yang dahsyat untuk membangun karakter manusia yang sempurna, baik di dunia, di masyarakat maupun di mata Tuhan SWT.
            Mampu memberi makna luhur terhadap pekerjaan dan tugas sehari-hari sehingga manusia akan merasakan makna kehidupan yang sangat indah dan menyenangkan ketika sedang bertugas dan tetap tegar saat menghadapi masalah yang berat sekalipun. Meningkatkan dan membangkitkan berbagai kemampuan dan potensi untuk memunculkan kekuatan spiritual terdalam (inner power) sehingga menjadi sumber kecerdasan spiritual dengan kekuatan do’a dan dzikir agar manusia terangkat ke permukaan, lebih tinggi dari sebelumnya.
            Dalam al-Qur’an, selain mengajarkan tuntunan beribadah secara sempurna terkandung juga suatu teknologi yang luar biasa untuk mencapai suatu tujuan-tujuan tertentu dan berbagai keilmuan yang membutuhkan pengkajian lebih dalam lagi untuk memahaminya dan menggunakannya untuk kemajuan umat manusia.[13]
            Berbagai penelitian mengenai tubuh manusia bahkan membuat kita lebih terpesona lagi akan kebesaran Allah SWT dalam menciptakan manusia. Bagaimana ciptaan yang sempurna ini bekerja, berpikir, bergerak, menganalisa, mengambil keputusan, memunculkan berbagai gagasan yang indah dan hebat, hingga manusia ini bisa berhasil menjadi terkenal, berkemampuan logik maupun spiritual, mempunyai emosi (IQ, EQ, SQ) yang bila dipergunakan secara positif-konstruktif akan memberi suatu hikmah pencapaian yang luar biasa.

4.       Multiple Intelligence (Kecerdasan Ganda)
Akhir-akhir ini banyak dibahas konsep kecerdasan ganda (Multiple Intelligence). Konsep ini berawal dari karya Horward Gardner (dalam buku Frames of Mind, 1983), yang didasarkan atas hasil penelitiannya selama beberapa tahun tentang kapasitas kognitif manusia (human cognitive capacities).
            Gardner menolak asumsi, bahwa kognisi manusia merupakan satu kesatuan dan individu hanya mempunyai kecerdasan tunggal. Meskipun sebagian besar individu menunjukkan penguasaan seluruh spektrum kecerdasan, tiap individu memiliki tingkat penguasaan yang berbeda. Individu memiliki beberapa kecerdasan, dan kecerdasan-kecerdasan itu bergabung menjadi satu kesatuan membentuk kemampuan pribadi yang cukup tinggi.[14]
            Menurutnya, dalam diri manusia terdapat banyak potensi yang belum dikembangkan dan bahkan kadang-kadang potensi tersebut telah kita kubur gara-gara kesibukan kita sehari-hari, seperti pekerjaan, mengurus rumah tangga atau sekolah. Dalam penemuannya, setidaknya ada delapan kecerdasan yang patut di perhitungkan secara sungguh-sungguh sebagai sebuah kecerdasan juga. Delapan  kecerdasan itu diantaranya sebagai berikut:
1.      Kecerdasan matematis-logis (logical-mathematical intelligence)
Kecerdasan matematis-logis merupakan kecakapan untuk menghitung, mengkuantitatif, merumuskan proposisi dan hipotesis, serta memecahkan perhitungan-perhitungan matematis yang kompleks. Para ilmuwan, ahli matematis, akuntan, insinyur, pemogram komputer adalah orang-orang yang tinggi dalam kecerdasan  logis matematisnya.
2.      Kecerdasan bahasa (linguistic intelligence)
Kecerdasan bahasa merupakan kecakapan berfikir melalui kata-kata, menggunakan bahasa untuk menyatakan dan memaknai arti yang kompleks. Para penulis, ahli bahasa, sastrawan, jurnalis, adalah orang-orang yang memiliki kecerdasan linguistik yang tinggi.
3.      Kecerdasan visual (visual-spatial intelligence)
Kecerdasan visual merupakan kecakapan berpikir dalam ruang tiga dimensi. Seorang yang memilik inteligensi visual-ruang yang tinggi seperti pilot, nahkoda, astronot, pelukis, arsitek, perancang dan lain-lain. Mampu menangkap bayangan ruang internal dan eksternal, untuk penentuan arah dirinya atau benda yang dikendalikan, atau mengubah, mengkreasi dan menciptakan karya-karya tiga dimensi nyata.
4.      Kecerdasan kinestik atau gerakan fisik (kinesthetic intelligence)
Kecerdasan kinestetik atau gerakan fisik merupakan kecakapan melakukan gerakan dan keterampilan kecekatan fisik seperti dalam olah raga, atletik, menari, kerajinan tangan, bedah, dan lain-lain. Orang-orang yang memiliki kecerdasan kinestetik yang tinggi adalah para olahragawan, penari, pencipta tari, pengrajin profesional, dokter bedah, dan lain-lain.
5.      Kecerdasan musik (musical intelligence)
Kecerdasan musik merupakan kecakapan untuk menghasilkan dan menghargai musik, sensitivitas terhadap melodi, ritme, nada, tangga nada, menghargai bentuk-bentuk ekspresi musik. Komponis, dirigen, musisi, kritikus, musik, pembuat instrumen musik, penyanyi, pengamat musik adalah orang-orang yang memiliki kecerdasan musik yang tinggi.
6.      Kecerdasan hubungan sosial (interpersonal intelligence)
Kecerdasan hubungan sosial merupakan kecakapan memahami dan merespon serta berinteraksi dengan orang lain dengan tepat, watak, temperamen, motivasi dan kecenderungan terhadap orang lain. Orang-orang yang memiliki kecerdasan hubungan sosial di antaranya guru, konselor, pekerja sosial, aktor, pimpinan masyarakat, politikus, dan lain-lain. [15]
7.      Kecerdasan kerohaniahan (intrapersonal intelligence)
Kecerdasan kerohaniahan merupakan kecakapan memahami kehidupan emosional, membedakan emosi orang-orang, pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri. Kecakapan membentuk persepsi yang tepat terhadap orang, menggunakannya dalam merencanakan dan mengarahkan kehidupan yang lain. Agamawan, psikolog, psikiater, filosof, adalah mereka yang memiliki kecerdasan pribadi yang tinggi.
8.      Kecerdasan naturalistik
Kecerdasan naturalistik merupakan kemampuan seorang siswa (peserta didik), guru (pendidik) untuk peka terhadap lingkungan alam. Misalnya senang berada di lingkungan yang terbuka seperti pantai, gunung, cagar alam, hutan, dan sebagainya. Anak-anak dengan kecerdasan seperti ini cenderung suka mengobservasi lingkungan alam seperti aneka macam bebatuan, jenis-jenis lapisan tanah, aneka macam flora dan fauna, benda-benda di angkasa, dan lain sebagainya.[16]

B.     Urgensi IQ, EQ, dan SQ dalam Proses Pendidikan
Para ahli psikologi menyebutkan bahwa IQ hanya mempunyai peran sekitar 20% dalam menentukan keberhasilan hidup, sedangkan 80% sisanya ditentukan oleh faktor-faktor yang lain.[17]
Manusia memiliki tiga kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosi (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Ketiga-tiga kemampuan sangat membantu seseorang dalam meningkatkan kualitas diri, mengabaikan salah satu kemampuan tersebut mengakibatkan banyak individu dililit masalah secara pribadi maupun sosial masyarakat. Selama ini masyarakat mempercayai dan mengagung-agungkan secara dominan salah satu kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual (IQ).
IQ (Intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin seseorang akan meraih kesuksesan. Realitas menunjukkan bahwa banyak orang IQ-nya tinggi, tetapi tidak selalu berhasil dalam hidupnya. Seperti hasil penelitian Gardner, seorang profesor pendidikan Harvard melakukan riset kecerdasan manusia, ia mematahkan mitos bahwa Intelligence Quotient  (IQ) tetap, tidak berubah, jika seseorang terlahir dengan kondisi IQ sedang, maka IQ-nya tidak pernah bisa bertambah maupun berkurang. Artinya, jika seseorang terlahir dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup, akan sulit mendapatkan IQ yang superior (jenius), begitu pula sebaliknya. Tetapi, Emotional Quotient (EQ) dapat dikembangkan seumur hidup dengan belajar. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dalam situasi yang nyata.
Menurut Iskandar Doktor Psikologi Pendidikan dari Universitas Kebangsaan Malaysia menyatakan bahwa pembelajaran di lembaga pendidikan sekolah dan perguruan tinggi kita selama ini cenderung menggunakan kemampuan metamatis-logis dan bahasa, (kecerdasan intelektual) akibatnya membunuh kemampuan lainnya.
Dengan munculnya teori kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ), Dr. Iskandar berpendapat bahwa teori kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) dapat diaplikasikan sebagai pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang lebih memahami kemampuan intrapersonal dan interpersonal, pendidik dan peserta didik, kemampuan afektif peserta didik yang berbeda tidak bisa didekati dengan metode pembelajaran yang sama.[18]
Sadar atau tidak sekolah-sekolah kita saat ini dari SD sampai Perguruan Tinggi, pada umumnya hanya mengembangkan kemampuan kognitif siswa saja (menulis, membaca, menghafal, menghitung dan menjawab) sesuai dengan instruksi guru atau dosen (tenaga pendidik), tanpa pernah memberi kesempatan siswa untuk berpikir, bekerja dan mengetahui pengalaman baru. Hal ini seolah-olah masa depan anak-anak kita itu, sangat ditentukan oleh kemampuan kognitif atau kemampuan intelektual (IQ), hipotesis ini menjadi benar karena memang untuk masuk lembaga pendidikan yang bermutu, masa depannya ditentukan dengan waktu diruangan lebih kurang 3 jam, yaitu pada ujian masuk.
Bagaimana tenaga pendidik (guru dan dosen) serta peserta didik (siswa dan mahasiswa) menyikapi fenomena pendidikan yang penuh dengan dikotomi antara idealisme pendidikan dengan kondisi riil yang terjadi di masyarakat? Menurut Iskandar, pendidik atau peserta didik hendaklah lebih kreatif dan inovatif dalam menggunakan instink dan talenta pendidik dan peserta didik. Bagaimana proses belajar mengajar yang mengantar masa depan anak-anak dalam konsep ujian-ujian itu tetap berjalan, tetapi proses pembelajaran dengan memberikan pengalaman hidup yang berhubungan dengan materi pembelajaran yang diajarkan tetap dikembangkan sehingga terintegrasi antara teori dan prakteknya.
Melihat potensi intelektual dan kecerdasan emosi yang demikian besar, muncul pertanyaan, bagaimana pendidik dan peserta didik dapat mengembangkan pembelajaran berkualitas? Pertama, secara sederhana dapat dinyatakan, bahwa untuk mengembangkan IQ pendidik dan peserta didik, perlu mengadakan percepatan pembelajaran (accelerated learning). Dalam percepatan belajar kita akan belajar  bagaimana cara belajar (learn how to learn). Termasuk dalam kategori ini adalah kemampuan matematis dan linguistik (membaca cepat, menghafal cepat, mencatat efektif, berfikir kreatif, berhitung cepat). Kedua, untuk mengembangkan EQ pendidik dan peserta didik dalam pembelajaran perlu menyadari dan meyakini bahwa emosi itu adalah benar-benar ada dan riil serta dapat mengelola emosi menjadi kekuatan untuk mencapai prestasi (kemampuan intrapersonal dan interpersonal).
Mengamati perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masa sekarang dan kedepan, maka dunia pendidikan kita  harus mampu menerapkan model pembelajaran yang berbasis kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual (IESQ). Kecerdasan yang memahami kebenaran dalam setiap situasi, yaitu memiliki kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, kecerdasan emosi (EQ) yang dewasa, kecerdasan spiritual (SQ) yang mantap untuk pencapaian yang cerdas dan praktis.[19]
Dalam implementasi proses pengajaran dan pembelajaran dituntut sikap kritis, kreatif, dan inovatif, para pendidik dan peserta didik dalam upaya mengubah model pengajaran dan pembelajaran mereka, bukan sesuai dengan kecerdasan pendidik melainkan sesuai dengan kecerdasan peserta didik, maknanya seorang pendidik hendaklah mampu mengkomunikasikan materi pembelajaran sesuai dengan kemampuan peserta didik.
Tidak kalah menariknya adalah perlunya konsep spiritual sebagai penunjang kesuksesan. Konsep inteligensi spiritual ini tidak hanya mencakup hubungan vertikal dengan Tuhan saja tetapi juga hubungan horisontal terhadap sesama makhluk Tuhan, jika dinyatakan sebagai SQ, tentu ini harus dioperasionalisasikan menjadi alat ukur. Tapi hasil pengukuran ini harus di apresiasikan secara hati-hati, karena sifatnya sangatlah subyektif, dan agak sulit diperbandingkan seperti layaknya satuan ukur yang lain.
Relevansinya dengan dunia pendidikan? Dunia pendidikan sedang menggalakkan peningkatan profesionalisme guru, dosen (pendidik) untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Diharapkan dengan didudukkan para guru-guru dan dosen (pendidik) dengan “inteligensi, emosi dan spiritual” yang tinggi dan stabil, akan lebih “sukses” dalam mengelola kegiatan pembelajaran.
Organisasi pendidikan adalah sistem yang terbuka dalam arti sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempatnya berada. Ketika lingkungan makin menyadari betapa faktor-faktor etika harus menjadi perhatian disamping tujuannya sebagai mencetak SDM, maka organisasi pun harus beradaptasi.
Sementara sekolah dan perguruan tinggi merupakan tempat para siswa dan mahasiswa (peserta didik) melaksanakan kegiatan proses pembelajaran, yang dapat melahirkan dan menghasilkan SDM yang berkualitas.[20] 

 IV.            KESIMPULAN
Macam-macam kecerdasan yang dimiliki manusia antara lain yaitu kecerdasan Intelektual/Intelligence Quotient (IQ), kecerdasan emosi/Emotional Quotient (EQ), kecerdasan spiritual /Spiritual Quotient (SQ). IQ merupakan kecerdasan dasar yang berhubungan dengan proses kognitif, pembelajaran (kecerdasan intelektual) cenderung menggunakan kemampuan matematis-logis dan bahasa, pada umumnya hanya mengembangkan kemampuan kognitif (menulis, membaca, menghafal, menghitung dan menjawab). Sesuai dengan berjalannya zaman, manusia mulai menyadari bahwa faktor emosi juga tidak kalah pentingnya dalam mendukung sebuah kesuksesan, bahkan dipandang lebih penting dari pada inteligensi. Kecerdasan ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman pada pertengahan 1990-an.
Kecerdasan spiritual (SQ) adalah sebagai pelengkap yang memadukan antara kecerdasan intelektual dan emosional menjadi syarat penting agar manusia dapat lebih memaknai hidup dan menjalani hidup penuh berkah.
Ketiga kemampuan tersebut sangat membantu seseorang dalam meningkatkan kualitas diri, mengabaikan salah satu kemampuan tersebut mengakibatkan banyak individu dililit masalah secara pribadi maupun sosial masyarakat.
Mengamati perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masa sekarang dan kedepan, maka dunia pendidikan kita juga harus mampu menerapkan model pembelajaran yang berbasis kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual (IESQ). Kecerdasan yang memahami kebenaran dalam setiap situasi, yaitu memiliki kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, kecerdasan emosi (EQ) yang dewasa, kecerdasan spiritual (SQ) yang mantap untuk pencapaian yang cerdas dan praktis.

    V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat Kami susun. Kami sadar makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat Kami harapkan demi perbaikan makalah selanjutnya. Kami minta maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan dan isi makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.





















DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Transliterasi Arab-Latin) Model Perbaris, Semarang, CV Asy-Syifa’, 2001.

Djaali, Psikologi Pendidikan, Jakarta, PT Bumi Aksara, 2008.

Iskandar, Psikologi Pendidikan (Sebuah Orientasi Baru), Jakarta: Gaung Persada (GP) Press, 2009.

M. Moeliono, Anton, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1990.

Mustaqim, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Belajar, 2008.

Syaodih Sukmadinata, Nana, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2009.
































[1] Iskandar, Psikologi Pendidikan (Sebuah Orientasi Baru), (Jakarta: Gaung Persada (GP) Press, 2009), hlm. 50-51.
[2] Ibid., hlm. 58.
[3] Djaali, Psikologi Pendidikan, (Jakarta, PT Bumi Aksara, 2008), hlm. 72.
[4] Ibid., hlm. 74-75.
[5] Emosi adalah luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat; keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan, keberanian yang bersifat subjektif). Anton M. Moeliono, dkk.,  Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1990), hlm. 228.
[6] Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 97.
[7] Iskandar, op.cit., hlm. 59.
[8] Ibid., hlm. 60-61.
[9] Iskandar, loc.cit., hlm. 61.
[10] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Transliterasi Arab-Latin) Model Perbaris, (Semarang, CV Asy-Syifa’, 2001), hlm. 901.
[11] Ibid., hlm. 209.
[12] Iskandar, op.cit., hlm. 66.
[13] Ibid., hlm. 67-68.
[14] Nana Syaodih Sukmadinata, op.cit., hlm. 95. 
[15] Ibid., hlm. 96-97.
[16] Iskandar, op.cit., hlm. 56.
[17] Mustaqim, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta, Pustaka Belajar, 2008), hlm. 152.
[18] Iskandar, op.cit., hlm. 68-70.
[19]  Ibid., 71-72.
[20] Ibid., hlm. 73-75.