Sabtu, 08 Oktober 2011

makalah PSIKOLOGI PENDIDIKAN

POTENSI PESERTA DIDIK
(IQ, EQ, SQ DAN MULTIPLE INTELLIGENCE)

       I.            PENDAHULUAN
Kecerdasan yang dimiliki manusia merupakan salah satu potensi yang  dianugerahkan oleh Allah SWT, yang menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berpikir dan belajar secara terus menerus.
Dalam hal ini, sudah sepantasnya manusia bersyukur, meski secara fisik tidak begitu besar dan kuat, namun berkat kecerdasan yang dimilikinya hingga saat ini manusia ternyata masih dapat mempertahankan kelangsungan peradaban hidupnya.
Salah satu pengertian kecerdasan yang paling banyak digunakan adalah yang dikemukakan oleh Wechsler. Ia menganggap kecerdasan adalah konsep generik yang melibatkan kemampuan individual untuk berbuat dengan tujuan tertentu. Sementara itu menurut Chaplin (1975) memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Kemudian Anita E. Woolfolk (1975) mengemukakan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi baru atau lingkungan pada umumya (dalam Akhmad Sudrajat, 2009).
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuanm dan teknologi dewasa ini, orang tidak hanya berbicara tentang Kecerdasan Umum, Kecerdasan Intelektual (IQ) saja, melainkan juga Kecerdasan Emosi (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ). Setiap kecerdasan ini memiliki wilayahnya sendiri-sendiri di otak. Sesuai dengan fitrah, kecerdasan sudah ada sejak manusia dilahirkan, tetapi yang mewarnai selanjutnya adalah keluarga dan lingkungannya.[1]
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang berbagai macam kecerdasan yang dimiliki manusia.



    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Macam-Macam Kecerdasan Manusia
B.     Urgensi IQ, EQ, dan SQ dalam Proses Pendidikan

 III.            PEMBAHASAN
A.    Macam-Macam Kecerdasan Manusia
Kita telah mengenal berbagai kecerdasan manusia diantaranya IQ, EQ, SQ, dan Multiple Intelligence.
1.      Kecerdasan Intelektual [Intelligence Quotient (IQ)]
Kecerdasan Intelektual/Intelligence Quotient (IQ) merupakan kecerdasan dasar yang berhubungan dengan proses kognitif, pembelajaran (kecerdasan intelektual) cenderung menggunakan kemampuan matematis-logis dan bahasa, pada umumnya hanya mengembangkan kemampuan kognitif (menulis, membaca, menghafal, menghitung dan menjawab). Kecerdasan ini dikenal dengan kecerdasan rasional karena menggunakan potensi rasio dalam memecahkan masalah, penilaian kecerdasan dapat dilakukan melalui tes atau ujian daya ingat, daya nalar, penguasaan kosa kata, ketepatan menghitung, mudah menganalisis data. Dengan ujian seperti dapat dilihat tingkat kecerdasan intelektual seseorang.
            Kecerdasan intelektual muncul sejak dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, sejak anak di dalam kandungan (masa pranata) sampai tumbuh menjadi dewasa. Kecerdasan intelektual (inteligensi) merupakan aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas seseorang dalam perolehan pembelajaran.
            Kecerdasan intelektual (IQ) pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat.[2]
            Semenjak zaman pencerahan yang mengagungkan kemajuan ilmu pengetahuan sebagai lambang kemajuan peradaban, intilegensi naik daun dan dianggap sebagai prediktor utama kesuksesan, bahkan mungkin satu-satunya. Sehingga salah kaprah terhadap konsep IQ dan terjadi pemberhalaan IQ. Sering terjadi pertukaran konsep dikalangan awam antara inteligensi (intelligence) dan IQ.
            Inteligensi adalah sebuah konsep, yang dioperasionalisasikan dengan suatu alat ukur, dan keluaran dari alat ukur inilah yang berupa IQ. Angka yang keluar adalah angka berdasarkan satuan tertentu. Semacam “gram” untuk “berat”, dan “meter” untuk “jarak”. Konsep inilah yang harus diluruskan agar tidak menimbulkan beragam penafsiran : IQ adalah satuan ukur.
            Untuk mengukur tingkat inteligensi anak, dapat digunakan tes IQ (Intelligence Quotient) misalnya dari Binet Simon. Dari hasil tes Binet Simon, dibuatlah penggolongan inteligensi sebagai berikut:
1.      Genius > 140;
2.      Gifted > 130;
3.      Superior > 120;
4.      Normal 90-110;
5.      Debil 60-79;
6.      Imbesil 40-55;
7.      Idiot > 30.[3]
Inteligensi orang satu dengan yang lain cenderung berbeda-beda. Hal ini karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara lain:
a)      Faktor pembawaan, dimana faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir.
b)      Faktor minat dan pembawaan yang khas, dimana minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu.
c)      Faktor pembentukan, dimana pembentukan adalah segala keadaan diluar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan inteligensi.
d)     Faktor kematangan, dimana tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik maupun psikis, dapat dikatakan telah matang jika ia telah tumbuh atau berkembang hingga mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing.
e)      Faktor kebebasan, yang berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Di samping kebebasan memilih metode juga bebas memilih masalah yang sesuai dengan kebutuhannya.
Kelima faktor itu saling terkait satu dengan yang lain. Jadi, untuk menentukan kecerdasan seseorang, tidak dapat hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut.[4]

2.      Kecerdasan Emosi [Emotional Quotient (EQ)]
Sesuai dengan berjalannya zaman, manusia mulai menyadari bahwa faktor emosi tidak kalah pentingnya dalam mendukung sebuah kesuksesan, bahkan dipandang lebih penting dari pada inteligensi. Daniel Goleman telah mempopulerkan pada pertengahan 1990-an. Seperti juga IQ, konsep kecerdasan emosi ini dioperasionalisasikan menjadi alat ukur dan keluarannya disebut EQ. [5]
Konsep ini muncul dari beberapa pengalaman, bahwa kecerdasan intelektual yang tinggi saja tidak cukup untuk mengantarkan orang menuju sukses. Menurut Goleman (1995) pengembangan kecerdasan emosional, orang-orang sukses selain memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi tetapi juga memliki stabilitas, motivasi kerja yang tinggi, mampu mengendalikan stres, tidak mudah putus asa, dan lain-lain. Pengalaman-pengalaman demikian, memperkuat keyakinan bahwa disamping kecerdasan intelektual juga ada kecerdasan emosional. Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi adalah mereka yang mampu mengendalikan diri (mengendalikan gejolak emosi), mampu menerima kenyataan, dapat merasakan kesenangan meskipun dalam kesulitan.[6]
Demikian pula penerapannya dalam kehidupan organisasi, inteligensi tidak lagi dianggap satu-satunya faktor menentukan kinerja seseorang. Dalam konsep kompetensi faktor-faktor seperti motivasi, keterampilan interpersonal, dan kepemimpinan mendapat perhatian yang cukup signifikan.[7]
            Tokoh-tokoh seperti Sternberg, Baron dan Salovey, menyebutkan adanya lima domain kecerdasan pribadi dalam bentuk kecerdasan emosional, yaitu:
a.       Kemampuan mengenali emosi diri
Kemampuan mengenali emosi diri merupakan kemampuan seseorang dalam mengenali perasaannya sendiri sewaktu perasaan atau emosi itu muncul. Ini sering dikatakan sebagai dasar dari kecerdasan emosional. Seseorang yang mampu mengenali emosinya sendiri adalah bila ia memiliki kepekaan yang tajam atas perasaan mereka yang sesungguhnya dan kemudian mengambil keputusan-keputusan secara mantap. Misalnya sikap yang diambil dalam menentukan berbagai pilihan, seperti memilih sekolah, sahabat, pekerjaan sampai kepada pemilihan pasangan hidup.
b.      Kemampuan mengelola emosi
Kemampuan mengelola emosi merupakan kemampuan seseorang untuk mengendalikan perasaannya sendiri sehingga tidak meledak dan akhirnya dapat mempengaruhi perilakunya secara salah. Mungkin dapat diibaratkan sebagai seorang pilot pesawat yang dapat membawa pesawatnya ke suatu kota tujuan dan kemudian mendaratkannya secara mulus. Misalnya seseorang yang sedang marah, maka kemarahan itu, tetap dapat dikendalikan secara baik tanpa harus menimbulkan akibat yang akhirnya disesalinya di kemudian hari.
c.       Kemampuan memotivasi diri
Kemampuan memotivasi diri merupakan kemampuan untuk memberikan semangat kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Dalam hal ini terkandung adanya unsur harapan optimisme yang tinggi, sehingga seseorang memiliki kekuatan semangat untuk melakukan suatu aktivitas tertentu. Misalnya dalam hal belajar, bekerja, menolong orang lain dan sebagainya. [8]
d.      Kemampuan mengenali emosi orang lain
Kemampuan mengenali emosi orang lain (empati) merupakan kemampuan untuk mengerti perasaan dan kebutuhan orang lain, sehingga orang lain akan merasa senang dan dimengerti perasaannya. Anak-anak yang memiliki kemampuan ini, yaitu sering pula disebut sebagai kemampuan berempati, mampu menangkap pesan non verbal dari orang lain seperti nada bicara, gerak-gerik maupun ekspresi wajah dari orang lain tersebut. Dengan demikian anak-anak ini akan cenderung disukai orang.
e.       Kemampuan membina hubungan sosial
Kemampuan membina hubungan sosial merupakan kemampuan untuk mengelola emosi orang lain, sehingga tercipta keterampilan sosial yang tinggi dan membuat pergaulan seseorang menjadi lebih luas. Anak-anak dengan kemampuan ini cenderung mempunyai banyak teman, pandai bergaul dan menjadi lebih populer.
Disini dapat kita simpulkan betapa pentingnya kecerdasan emosional dikembangkan pada diri siswa (peserta didik). Karena betapa banyak kita jumpai siswa (peserta didik), dimana mereka begitu cerdas di sekolah, begitu cemerlang prestasi akademiknya, namun bila tidak dapat mengelola emosinya, seperti mudah marah, mudah putus asa atau angkuh dan sombong, maka prestasi tersebut tidak akan banyak bermanfaat untuk dirinya. Ternyata kecerdasan emosional perlu lebih dihargai dan dikembangkan pada peserta didik sedini mungkin dari tingkat pendidikan usia dini sampai ke Perguruan Tinggi. Karena hal inilah yang mendasari keterampilan seseorang di tengah masyararakat kelak, sehingga akan membuat seluruh potensinya dapat berkembang secara lebih optimal.[9]
Selain itu kecerdasan emosi berkaitan dengan pemahaman diri dan orang lain, beradaptasi dan menghadapi lingkungan sekitar, dan penyesuaian secara cepat agar lebih berhasil dalam mengatasi tuntutan lingkungan.

3.      Kecerdasan Spiritual [Spiritual Quotient (SQ)]
Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kemampuan individu terhadap mengelola nilai-nilai, norma-norma dan kualitas kehidupan dengan memanfaatkan kekuatan-kekuatan pikiran bawah sadar atau lebih dikenal dengan suara hati (God Spot).
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hajj ayat 46, sebagai berikut:
óOn=sùr& (#r玍šo Îû ÇÚöF{$# tbqä3tGsù öNçlm; Ò>qè=è% tbqè=É)÷ètƒ !$pkÍ5 ÷rr& ×b#sŒ#uä tbqãèyJó¡o $pkÍ5 ( $pk¨XÎ*sù Ÿw yJ÷ès?
㍻|Áö/F{$# `Å3»s9ur yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# Îû ÍrߐÁ9$# ÇÍÏÈ  

Artinya : “Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”. (Q.S. Al-Haj : 46).[10]

            Kecerdasan spiritual disini bermakna bahwa seseorang individu yang memiliki rasa tanggung jawab kepada sang pencipta serta kemampuan mengkhayati nilai-nilai agama. Keridlaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menerima dengan hati yang rela dengan peraturan-peraturan yang telah digariskan oleh agama. Tanggung jawab kepada sang pencipta dapat membantu seseorang untuk terus belajar dan bekerja keras tanpa rasa jenuh. Allah membimbing siapa saja yang ridla kepada-Nya melalui jalan-jalan keselamatan dan membawa mereka dengan izin-Nya keluar dari kegelapan menuju cahaya. Sebagaimana tujuan diciptakannya manusia, dalam surat al-Maidah ayat 16:
Ïôgtƒ ÏmÎ/ ª!$# ÇÆtB yìt7©?$# ¼çmtRºuqôÊÍ Ÿ@ç7ß ÉO»n=¡¡9$# Nßgã_̍÷ãƒur z`ÏiB ÏM»yJè=à9$# n<Î) ÍqY9$# ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/
óOÎgƒÏôgtƒur 4n<Î) :ÞºuŽÅÀ 5OŠÉ)tGó¡B ÇÊÏÈ  

Artinya : “Dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridlaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”
(Q.S. Al-Maidah :16) [11]

            Kecerdasan spiritual (SQ) yang memadukan antara kecerdasan intelektual dan emosional menjadi syarat penting agar manusia dapat lebih memaknai hidup dan menjalani hidup penuh berkah. Terutama pada masa sekarang, dimana manusia modern terkadang melupakan mata hati dalam melihat segala sesuatu.
            Manusia modern adalah manusia yang mempunyai kualitas intelektual yang memadai, karena telah menempuh pendidikan yang memadai pula. Salah satu ciri yang kental dalam diri manusia modern adalah suka membaca. Hal ini sejalan dengan syariat Islam, dimana syariat pertamanya adalah membaca. Namun, terkadang kualitas intelektual tersebut tidak dibarengi dengan kualitas iman atau emosional yang baik, sehingga berkah yang diharapkan setiap manusia dalam hidupnya tidak dapat diperoleh.
            K.H. Ali Yafie menyatakan, ibadah yang dijalankan oleh umat Islam seharusnya bukan hanya merupakan suatu kewajiban, sehingga menjadi beban. Akan tetapi ibadah hendaknya menjadi kebutuhan hidup yang mutlak. Dengan menjadikan ibadah sebagai kebutuhan mutlak, tiap umat Islam akan selalu rindu untuk menjalankan ibadah. Dengan kata lain, upaya mi’raj atau mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai salah satu wujud dari makna hidup manusia dapat diusahakan tanpa menjadikannya suatu beban.
            Sementara itu, Komaruddin Hidayat memaparkan beberapa ciri manusia modern yang terjadi dalam dua kelompok besar, yaitu beragama dan tidak beragama. Ciri-ciri tersebut adalah rasional, mengandalkan kekuatan pribadi, selalu penuh dengan rencana dan kompetitif. Namun, ia memberi penekanan bahwa manusia modern dalam Islam tidak boleh melupakan mata hati dalam melihat segala sesuatu. Hal ini membutuhkan kecerdasan spiritual, lanjutnya, sehingga hati dan nalar akan dapat bekerja sama.[12]
            Proses pembersihan diri dan upaya untuk menjernihkan hati, dengan tujuan memunculkan kemampuan mendengar suara hati terdalam yang merupakan sumber kebijaksanaan dan motivasi. Pengaktifan, pembangkitan secara mental dan spiritual untuk memunculkan kemampuan dan potensi yang tersembunyi, pengisian dengan sifat-sifat Allah yang agung dan indah, memunculkan sifat-sifat yang baik, membangun citra positif yang mempesonakan.
            Pengembangan potensi diri adalah suatu metode untuk melepaskan, mengarahkan, mengendalikan kekuatan pikiran bawah sadar (unconscious mind), sehingga menjadi suatu langkah nyata dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus pola pengasahannya, melalui berbagai aplikasi dan keilmuan canggih berdasar kekuatan do’a dan dzikir yang digali dari al-Qur’an dan Hadits, menjadi modal dasar untuk pencapaian jalan keluar terbaik, untuk mencapai kerukunan, untuk mencapai harkat kehidupan yang lebih tinggi sepanjang perjalanan kehidupan. Bilamana setiap manusia bisa mengendalikan emosinya, maka kehidupan akan menjadi lebih indah.
            Untuk itu setiap manusia perlu mendapatkan suatu pelatihan dan pemahaman tentang kecerdasan emosi (EQ) dengan semangat spiritual (SQ), sehingga terjadi suatu perpaduan yang dahsyat untuk membangun karakter manusia yang sempurna, baik di dunia, di masyarakat maupun di mata Tuhan SWT.
            Mampu memberi makna luhur terhadap pekerjaan dan tugas sehari-hari sehingga manusia akan merasakan makna kehidupan yang sangat indah dan menyenangkan ketika sedang bertugas dan tetap tegar saat menghadapi masalah yang berat sekalipun. Meningkatkan dan membangkitkan berbagai kemampuan dan potensi untuk memunculkan kekuatan spiritual terdalam (inner power) sehingga menjadi sumber kecerdasan spiritual dengan kekuatan do’a dan dzikir agar manusia terangkat ke permukaan, lebih tinggi dari sebelumnya.
            Dalam al-Qur’an, selain mengajarkan tuntunan beribadah secara sempurna terkandung juga suatu teknologi yang luar biasa untuk mencapai suatu tujuan-tujuan tertentu dan berbagai keilmuan yang membutuhkan pengkajian lebih dalam lagi untuk memahaminya dan menggunakannya untuk kemajuan umat manusia.[13]
            Berbagai penelitian mengenai tubuh manusia bahkan membuat kita lebih terpesona lagi akan kebesaran Allah SWT dalam menciptakan manusia. Bagaimana ciptaan yang sempurna ini bekerja, berpikir, bergerak, menganalisa, mengambil keputusan, memunculkan berbagai gagasan yang indah dan hebat, hingga manusia ini bisa berhasil menjadi terkenal, berkemampuan logik maupun spiritual, mempunyai emosi (IQ, EQ, SQ) yang bila dipergunakan secara positif-konstruktif akan memberi suatu hikmah pencapaian yang luar biasa.

4.       Multiple Intelligence (Kecerdasan Ganda)
Akhir-akhir ini banyak dibahas konsep kecerdasan ganda (Multiple Intelligence). Konsep ini berawal dari karya Horward Gardner (dalam buku Frames of Mind, 1983), yang didasarkan atas hasil penelitiannya selama beberapa tahun tentang kapasitas kognitif manusia (human cognitive capacities).
            Gardner menolak asumsi, bahwa kognisi manusia merupakan satu kesatuan dan individu hanya mempunyai kecerdasan tunggal. Meskipun sebagian besar individu menunjukkan penguasaan seluruh spektrum kecerdasan, tiap individu memiliki tingkat penguasaan yang berbeda. Individu memiliki beberapa kecerdasan, dan kecerdasan-kecerdasan itu bergabung menjadi satu kesatuan membentuk kemampuan pribadi yang cukup tinggi.[14]
            Menurutnya, dalam diri manusia terdapat banyak potensi yang belum dikembangkan dan bahkan kadang-kadang potensi tersebut telah kita kubur gara-gara kesibukan kita sehari-hari, seperti pekerjaan, mengurus rumah tangga atau sekolah. Dalam penemuannya, setidaknya ada delapan kecerdasan yang patut di perhitungkan secara sungguh-sungguh sebagai sebuah kecerdasan juga. Delapan  kecerdasan itu diantaranya sebagai berikut:
1.      Kecerdasan matematis-logis (logical-mathematical intelligence)
Kecerdasan matematis-logis merupakan kecakapan untuk menghitung, mengkuantitatif, merumuskan proposisi dan hipotesis, serta memecahkan perhitungan-perhitungan matematis yang kompleks. Para ilmuwan, ahli matematis, akuntan, insinyur, pemogram komputer adalah orang-orang yang tinggi dalam kecerdasan  logis matematisnya.
2.      Kecerdasan bahasa (linguistic intelligence)
Kecerdasan bahasa merupakan kecakapan berfikir melalui kata-kata, menggunakan bahasa untuk menyatakan dan memaknai arti yang kompleks. Para penulis, ahli bahasa, sastrawan, jurnalis, adalah orang-orang yang memiliki kecerdasan linguistik yang tinggi.
3.      Kecerdasan visual (visual-spatial intelligence)
Kecerdasan visual merupakan kecakapan berpikir dalam ruang tiga dimensi. Seorang yang memilik inteligensi visual-ruang yang tinggi seperti pilot, nahkoda, astronot, pelukis, arsitek, perancang dan lain-lain. Mampu menangkap bayangan ruang internal dan eksternal, untuk penentuan arah dirinya atau benda yang dikendalikan, atau mengubah, mengkreasi dan menciptakan karya-karya tiga dimensi nyata.
4.      Kecerdasan kinestik atau gerakan fisik (kinesthetic intelligence)
Kecerdasan kinestetik atau gerakan fisik merupakan kecakapan melakukan gerakan dan keterampilan kecekatan fisik seperti dalam olah raga, atletik, menari, kerajinan tangan, bedah, dan lain-lain. Orang-orang yang memiliki kecerdasan kinestetik yang tinggi adalah para olahragawan, penari, pencipta tari, pengrajin profesional, dokter bedah, dan lain-lain.
5.      Kecerdasan musik (musical intelligence)
Kecerdasan musik merupakan kecakapan untuk menghasilkan dan menghargai musik, sensitivitas terhadap melodi, ritme, nada, tangga nada, menghargai bentuk-bentuk ekspresi musik. Komponis, dirigen, musisi, kritikus, musik, pembuat instrumen musik, penyanyi, pengamat musik adalah orang-orang yang memiliki kecerdasan musik yang tinggi.
6.      Kecerdasan hubungan sosial (interpersonal intelligence)
Kecerdasan hubungan sosial merupakan kecakapan memahami dan merespon serta berinteraksi dengan orang lain dengan tepat, watak, temperamen, motivasi dan kecenderungan terhadap orang lain. Orang-orang yang memiliki kecerdasan hubungan sosial di antaranya guru, konselor, pekerja sosial, aktor, pimpinan masyarakat, politikus, dan lain-lain. [15]
7.      Kecerdasan kerohaniahan (intrapersonal intelligence)
Kecerdasan kerohaniahan merupakan kecakapan memahami kehidupan emosional, membedakan emosi orang-orang, pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri. Kecakapan membentuk persepsi yang tepat terhadap orang, menggunakannya dalam merencanakan dan mengarahkan kehidupan yang lain. Agamawan, psikolog, psikiater, filosof, adalah mereka yang memiliki kecerdasan pribadi yang tinggi.
8.      Kecerdasan naturalistik
Kecerdasan naturalistik merupakan kemampuan seorang siswa (peserta didik), guru (pendidik) untuk peka terhadap lingkungan alam. Misalnya senang berada di lingkungan yang terbuka seperti pantai, gunung, cagar alam, hutan, dan sebagainya. Anak-anak dengan kecerdasan seperti ini cenderung suka mengobservasi lingkungan alam seperti aneka macam bebatuan, jenis-jenis lapisan tanah, aneka macam flora dan fauna, benda-benda di angkasa, dan lain sebagainya.[16]

B.     Urgensi IQ, EQ, dan SQ dalam Proses Pendidikan
Para ahli psikologi menyebutkan bahwa IQ hanya mempunyai peran sekitar 20% dalam menentukan keberhasilan hidup, sedangkan 80% sisanya ditentukan oleh faktor-faktor yang lain.[17]
Manusia memiliki tiga kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosi (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Ketiga-tiga kemampuan sangat membantu seseorang dalam meningkatkan kualitas diri, mengabaikan salah satu kemampuan tersebut mengakibatkan banyak individu dililit masalah secara pribadi maupun sosial masyarakat. Selama ini masyarakat mempercayai dan mengagung-agungkan secara dominan salah satu kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual (IQ).
IQ (Intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin seseorang akan meraih kesuksesan. Realitas menunjukkan bahwa banyak orang IQ-nya tinggi, tetapi tidak selalu berhasil dalam hidupnya. Seperti hasil penelitian Gardner, seorang profesor pendidikan Harvard melakukan riset kecerdasan manusia, ia mematahkan mitos bahwa Intelligence Quotient  (IQ) tetap, tidak berubah, jika seseorang terlahir dengan kondisi IQ sedang, maka IQ-nya tidak pernah bisa bertambah maupun berkurang. Artinya, jika seseorang terlahir dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup, akan sulit mendapatkan IQ yang superior (jenius), begitu pula sebaliknya. Tetapi, Emotional Quotient (EQ) dapat dikembangkan seumur hidup dengan belajar. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dalam situasi yang nyata.
Menurut Iskandar Doktor Psikologi Pendidikan dari Universitas Kebangsaan Malaysia menyatakan bahwa pembelajaran di lembaga pendidikan sekolah dan perguruan tinggi kita selama ini cenderung menggunakan kemampuan metamatis-logis dan bahasa, (kecerdasan intelektual) akibatnya membunuh kemampuan lainnya.
Dengan munculnya teori kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ), Dr. Iskandar berpendapat bahwa teori kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) dapat diaplikasikan sebagai pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang lebih memahami kemampuan intrapersonal dan interpersonal, pendidik dan peserta didik, kemampuan afektif peserta didik yang berbeda tidak bisa didekati dengan metode pembelajaran yang sama.[18]
Sadar atau tidak sekolah-sekolah kita saat ini dari SD sampai Perguruan Tinggi, pada umumnya hanya mengembangkan kemampuan kognitif siswa saja (menulis, membaca, menghafal, menghitung dan menjawab) sesuai dengan instruksi guru atau dosen (tenaga pendidik), tanpa pernah memberi kesempatan siswa untuk berpikir, bekerja dan mengetahui pengalaman baru. Hal ini seolah-olah masa depan anak-anak kita itu, sangat ditentukan oleh kemampuan kognitif atau kemampuan intelektual (IQ), hipotesis ini menjadi benar karena memang untuk masuk lembaga pendidikan yang bermutu, masa depannya ditentukan dengan waktu diruangan lebih kurang 3 jam, yaitu pada ujian masuk.
Bagaimana tenaga pendidik (guru dan dosen) serta peserta didik (siswa dan mahasiswa) menyikapi fenomena pendidikan yang penuh dengan dikotomi antara idealisme pendidikan dengan kondisi riil yang terjadi di masyarakat? Menurut Iskandar, pendidik atau peserta didik hendaklah lebih kreatif dan inovatif dalam menggunakan instink dan talenta pendidik dan peserta didik. Bagaimana proses belajar mengajar yang mengantar masa depan anak-anak dalam konsep ujian-ujian itu tetap berjalan, tetapi proses pembelajaran dengan memberikan pengalaman hidup yang berhubungan dengan materi pembelajaran yang diajarkan tetap dikembangkan sehingga terintegrasi antara teori dan prakteknya.
Melihat potensi intelektual dan kecerdasan emosi yang demikian besar, muncul pertanyaan, bagaimana pendidik dan peserta didik dapat mengembangkan pembelajaran berkualitas? Pertama, secara sederhana dapat dinyatakan, bahwa untuk mengembangkan IQ pendidik dan peserta didik, perlu mengadakan percepatan pembelajaran (accelerated learning). Dalam percepatan belajar kita akan belajar  bagaimana cara belajar (learn how to learn). Termasuk dalam kategori ini adalah kemampuan matematis dan linguistik (membaca cepat, menghafal cepat, mencatat efektif, berfikir kreatif, berhitung cepat). Kedua, untuk mengembangkan EQ pendidik dan peserta didik dalam pembelajaran perlu menyadari dan meyakini bahwa emosi itu adalah benar-benar ada dan riil serta dapat mengelola emosi menjadi kekuatan untuk mencapai prestasi (kemampuan intrapersonal dan interpersonal).
Mengamati perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masa sekarang dan kedepan, maka dunia pendidikan kita  harus mampu menerapkan model pembelajaran yang berbasis kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual (IESQ). Kecerdasan yang memahami kebenaran dalam setiap situasi, yaitu memiliki kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, kecerdasan emosi (EQ) yang dewasa, kecerdasan spiritual (SQ) yang mantap untuk pencapaian yang cerdas dan praktis.[19]
Dalam implementasi proses pengajaran dan pembelajaran dituntut sikap kritis, kreatif, dan inovatif, para pendidik dan peserta didik dalam upaya mengubah model pengajaran dan pembelajaran mereka, bukan sesuai dengan kecerdasan pendidik melainkan sesuai dengan kecerdasan peserta didik, maknanya seorang pendidik hendaklah mampu mengkomunikasikan materi pembelajaran sesuai dengan kemampuan peserta didik.
Tidak kalah menariknya adalah perlunya konsep spiritual sebagai penunjang kesuksesan. Konsep inteligensi spiritual ini tidak hanya mencakup hubungan vertikal dengan Tuhan saja tetapi juga hubungan horisontal terhadap sesama makhluk Tuhan, jika dinyatakan sebagai SQ, tentu ini harus dioperasionalisasikan menjadi alat ukur. Tapi hasil pengukuran ini harus di apresiasikan secara hati-hati, karena sifatnya sangatlah subyektif, dan agak sulit diperbandingkan seperti layaknya satuan ukur yang lain.
Relevansinya dengan dunia pendidikan? Dunia pendidikan sedang menggalakkan peningkatan profesionalisme guru, dosen (pendidik) untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Diharapkan dengan didudukkan para guru-guru dan dosen (pendidik) dengan “inteligensi, emosi dan spiritual” yang tinggi dan stabil, akan lebih “sukses” dalam mengelola kegiatan pembelajaran.
Organisasi pendidikan adalah sistem yang terbuka dalam arti sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempatnya berada. Ketika lingkungan makin menyadari betapa faktor-faktor etika harus menjadi perhatian disamping tujuannya sebagai mencetak SDM, maka organisasi pun harus beradaptasi.
Sementara sekolah dan perguruan tinggi merupakan tempat para siswa dan mahasiswa (peserta didik) melaksanakan kegiatan proses pembelajaran, yang dapat melahirkan dan menghasilkan SDM yang berkualitas.[20] 

 IV.            KESIMPULAN
Macam-macam kecerdasan yang dimiliki manusia antara lain yaitu kecerdasan Intelektual/Intelligence Quotient (IQ), kecerdasan emosi/Emotional Quotient (EQ), kecerdasan spiritual /Spiritual Quotient (SQ). IQ merupakan kecerdasan dasar yang berhubungan dengan proses kognitif, pembelajaran (kecerdasan intelektual) cenderung menggunakan kemampuan matematis-logis dan bahasa, pada umumnya hanya mengembangkan kemampuan kognitif (menulis, membaca, menghafal, menghitung dan menjawab). Sesuai dengan berjalannya zaman, manusia mulai menyadari bahwa faktor emosi juga tidak kalah pentingnya dalam mendukung sebuah kesuksesan, bahkan dipandang lebih penting dari pada inteligensi. Kecerdasan ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman pada pertengahan 1990-an.
Kecerdasan spiritual (SQ) adalah sebagai pelengkap yang memadukan antara kecerdasan intelektual dan emosional menjadi syarat penting agar manusia dapat lebih memaknai hidup dan menjalani hidup penuh berkah.
Ketiga kemampuan tersebut sangat membantu seseorang dalam meningkatkan kualitas diri, mengabaikan salah satu kemampuan tersebut mengakibatkan banyak individu dililit masalah secara pribadi maupun sosial masyarakat.
Mengamati perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masa sekarang dan kedepan, maka dunia pendidikan kita juga harus mampu menerapkan model pembelajaran yang berbasis kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual (IESQ). Kecerdasan yang memahami kebenaran dalam setiap situasi, yaitu memiliki kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, kecerdasan emosi (EQ) yang dewasa, kecerdasan spiritual (SQ) yang mantap untuk pencapaian yang cerdas dan praktis.

    V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat Kami susun. Kami sadar makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat Kami harapkan demi perbaikan makalah selanjutnya. Kami minta maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan dan isi makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.





















DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Transliterasi Arab-Latin) Model Perbaris, Semarang, CV Asy-Syifa’, 2001.

Djaali, Psikologi Pendidikan, Jakarta, PT Bumi Aksara, 2008.

Iskandar, Psikologi Pendidikan (Sebuah Orientasi Baru), Jakarta: Gaung Persada (GP) Press, 2009.

M. Moeliono, Anton, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1990.

Mustaqim, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Belajar, 2008.

Syaodih Sukmadinata, Nana, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2009.
































[1] Iskandar, Psikologi Pendidikan (Sebuah Orientasi Baru), (Jakarta: Gaung Persada (GP) Press, 2009), hlm. 50-51.
[2] Ibid., hlm. 58.
[3] Djaali, Psikologi Pendidikan, (Jakarta, PT Bumi Aksara, 2008), hlm. 72.
[4] Ibid., hlm. 74-75.
[5] Emosi adalah luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat; keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan, keberanian yang bersifat subjektif). Anton M. Moeliono, dkk.,  Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1990), hlm. 228.
[6] Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 97.
[7] Iskandar, op.cit., hlm. 59.
[8] Ibid., hlm. 60-61.
[9] Iskandar, loc.cit., hlm. 61.
[10] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Transliterasi Arab-Latin) Model Perbaris, (Semarang, CV Asy-Syifa’, 2001), hlm. 901.
[11] Ibid., hlm. 209.
[12] Iskandar, op.cit., hlm. 66.
[13] Ibid., hlm. 67-68.
[14] Nana Syaodih Sukmadinata, op.cit., hlm. 95. 
[15] Ibid., hlm. 96-97.
[16] Iskandar, op.cit., hlm. 56.
[17] Mustaqim, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta, Pustaka Belajar, 2008), hlm. 152.
[18] Iskandar, op.cit., hlm. 68-70.
[19]  Ibid., 71-72.
[20] Ibid., hlm. 73-75.

3 komentar: